Entahlah

 

Entahlah

                Setitik air dengan beribu makna berserta berjuta kehidupan yang luar biasa, membuat ku membuka milyaran kesempatan yang sudah bertriliun detik tak terlintas dalam benak dan sanubariku, setitik air yang begitu bermakna membuka hatiku selebar dunia seluas lautan setinggi langit, setitik air itulah yang membuatku mengerti bagaimana arti hidup yang seharusnya.

                Kini...  setitik air itu membasahi pipiku, mungkin setitik air ini pernah  mengalir dengan puluhan sayatan yang penuh dengan  ratusan rasa perih, beribu rasa pilu dan berjuta rasa pasrah pada pipimu, aku tak menyangka air mata itulah yang menyulap hatiku untuk berusaha dan terus bertekad untuk mencipta setitik air yang indah. Bunda...

###

                “huhhhhh... akhirnya...” hela nafasku sekaligus bergumam, merasa tenang setelah aku berhasil kabur dari pondok yang sangat menyebalkan.

                2 tahun sudah aku belajar di pondok pesantren, awal kupikir pondok itu tempat berkawan yang asik dimana aku bisa tenang dari segala PR dan tugas tugas sekolah yang menyebalkan, namun setelah selama ini yang ku dapati pondok hanya sebuah sekolah berbasis penjara yang membuat otakku semakin berteriak dan tak sanggup lagi.

                Mungkin juga karena biaya yang rendah membuatku terpaksa masuk kedalam pondok, setelah ayah meninggal 3 tahun lalu aku berusaha untuk melakukan yang terbaik demi bunda, namun untuk yang kali ini aku sudah tak sanggup, aku ingin bunda berfikir lagi dan mengeluarkan ku dari pondok.

                Perjalanan 1 jam yang ku tempuh telah membawa ku kembali ke kampung halaman ku, kulihat gapura selamat datang kota banten. Dengan rasa tidak sabar aku terus menatapi perjalanan, terbayang wajah sedih bunda, namun aku akan menjelaskannya pada bunda dan aku pun akan bilang ke bunda aku akan sekolah sambil mencari pekerjaan sampingan agar meringankan beban bunda, aku merasa bisa karena saat ini aku telah duduk di bangku kelas setara dengan 2 sma, dan kupikir aku akan bisa menjadi mandiri dengan keluar dari pondok dan menjalani jalan hidup ku sendiri.

                Rumah sederhana berwana putih dengan pagar yang terbuat dari anyaman bambu, langkah kaki ku terhenti sekejap, ku tenangkan diriku dan kembali melangkah.

                “assalamualaikum bunda...” salam ku di depan pelataran rumah.

                “waalaikum salam.... bunda.... ka radit pulang...” ternyata yang menjawab dan menghampiriku adalah adikku romi yang tengah berumur 12 tahun.

                Ia menyalami tanganku, tak lama bunda keluar rumah dengan wajah beribu pertanyaan dan berjuta rasa penasaran dengan kedatangan ku aku hanya tersenyum dan menyalami tangan bunda dengan khidmat.

                “radit, kamu koq pulang, emangnya di pondok udah libur? Ini kan bukan tanggal libur, apa kamu sakit? Apa kamu ada masalah? kenapa” bunda dengan beribu pertanyaanya yang bertubi- tubi menyerangku.

                “radit kabur bun?” ucapku menundukkan kepala.

                Bunda terdiam wajahnya syok, aku tak bisa mengartikan apapun dari raut wajahnya. Yang kutahu bunda pasti ingin menanyakan alasan ku kabur, aku dengan nafas pasrahku sudah siap untuk menjawab pertanyaannya.

                “hmmm... yaudah masuk dulu.. kamu pasti capek” ucap bunda yang membuatku tercengang dan sedikit terheran, apakah tak masalah anak mu bunda kabur dari pondok.

###

                Setelah tadi siang bunda membuatkan ku makan siang dengan segelas teh bunda masih belum berbicara padaku, lantaran beliau sibuk menangani laundry yang kini menjadi penghasil dan penghidup keluarga kami, dan kini sudah malam aku masih terdiam dalam kamar ku dengan beribu pertanyaan pada diriku sendiri.

                Apa yang kulakukan?, untuk apa aku kabur?, mengapa aku melakukan ini setelah semua yang diusahakan bunda untukku?, mungkinkah ini salah?.

                Kucoba berfikir kembali alasan ku masuk dan mengambil jalur pondok, namun pikiran ini sangat kacau dengan beribu pernyataan dan pertanyaan, aku tak mengerti hingga kembali muncul egoku yang tak berdasar.

                “bukannya aku kabur dari pondok agar aku bisa bilang ke bunda aku mau keluar dan aku mau bekerja dan menjalani jalan hidup yang ku pilih sendiri ”.

                Itulah pokok pikiranku sekarang, aku tak bisa berfikir apa-apa lagi yang ku pikir hanya itu egoku dengan dasar tendensi yang beralasan aku ingin membahagiakan bunda.

                “radit.... ayo makan malam”. Suara bunda terdengar dari ruang tamu.

                Seperti biasa kami duduk makan bersama dengan lauk seadanya, ku perhatikan bunda sama sekali tak menanyakan alasan dan mengapa aku kabur dari pondok hanya bunda menanyakan beberapa hal yang biasa saja, aku sama sekali tak mengerti bunda. Hingga usai sudah jam makan kami dan bunda memerintahkan  romi untuk belajar.

                “jadi gimana? Kamu udah bisa menjelaskan semuanya ke bunda?.”

                Aku menunduk sejenak dan terus memutar pikiranku hingga aku menemukan alasan yang tepat tentang apa yang ku lakukan.

                “bunda... radit ingin keluar dari pondok... radit ingin sekolah... tapi bukan Cuma sekolah bunda, radit juga di rumah ingin mencari kerjaan sampingan buat bantu bunda... insyaallah bunda setelahnya radit akan kuliah dengan jeri payah radit sendiri”.

                “hmmm... ya sudah gimana kalo bunda minta izinkan dulu ke pesantren agar kamu bisa di rumah sementara”.

                Mendengar perkataan bunda membuatku spontan memeluk bunda erat erat aku sangat bahagia bunda mengerti maksud ku dan aku pun berjanji akan serius dalam langkah yang ku ambil ini.

###

                Satu minggu...

                Aku berkeliling setiap sekolah yang sudah ku tulis  dalam daftarku untuk ku ajukan surat perpindahanku, hanya saja belum ada satu sekolah pun yang menerima surat perpindahan ku dan hari ini aku sedang berdiri berfikir kemana lagi aku harus mencari toko yang berkenan untuk menerima ku sebagai pekerja tambahan, setiap kali aku menawarkan diri mereka selalu berdalih tak memperkerjakan seorang pelajar.

                “gimana nak?” tanya bunda ditengah makan siang bersama.

                Aku terdiam dan menggeleng kepala, sekedar memberi kabar bahwa perjuangan ku satu minggu ini belum menghasilkan apapun, tapi tetap ego dalam diriku belum berhenti untuk berjuang aku yakin pasti satu waktu aku akan mendapat apa yang ku impikan, yaitu menghidupi kehidupan ku sendiri dengan tangan ku sendiri.

###

                “HAH!!!....” aku terkejut terbangun dari tidur ku. Malam ini malam ke 9 ku di rumah, entah baru saja aku mengalami mimpi yang membuat air mataku mengalir sendiri, ku lihat bunda di tengah jalan yang lapang tengah mendorong sebongkah batu tanpa tujuan, dan yang lebih mengejutkan bagiku kulihat tangan budah yang kapalan penuh darah terus memaksakan diri untuk mendorong batu itu, hingga bunda begitu lelah dan tertimpa batu yang didorongnya.

                Itulah yang membuatku merasakan pilu lantaran aku tak mampu melakukan apa-apa disisi bunda yang tengah berusaha mati-matian, aku pun keluar kamar menuju dapur untuk mengambil segelas air demi meredakan hatiku yang masih merasakan perihnya pilu yang diemban bunda.

                Sehabis minum aku baru sadar ternyata pintu kamar bunda terlihat terbuka, tidak biasanya bunda tak menutup pintu kamarnya, aku pun mencoba untuk menutup, namun, tangan ku berhenti dengan knop pintu dan aku tak bisa bergerak seakan atmosfir duniaku tersentak dan berhenti tiba-tiba saat ku lihat bunda yang tengah menengadahkan tangannya ke langit dengan wajah penuh air mata.

                “ya... rabb. Aku mencintai anak-anakku sebagaimana engkau mencintai para kekasihmu... ya... rabb sungguh anak ku tengah terombang dalam ombak seknariomu yang begitu agung... sungguh aku hambamu tak tahu manakah yang lebih engkau ridhoi... hanya saja hamba lebih menyukai bila anak-anak hamba dapat taat kepadamu ya... rabb. Izinkanlah anak-anak hamba untuk membuka mata hatinya dan kembali dekat kepadamu ya... rabb..”

                Aku tak sanggup lebih lama mendengar pengaduan bunda yang tak pernah kudengar sebelumnya, melihat air setetes air mata yang terus menerus mengalir penuh dengan sayatan perih pilunya jejak kehidupan yang tengah bunda hadapi dan semua itu seakan membuat batu yang menyumbat rumitnya pikiran ku menghilang begitu saja, kini aku paham apa yang harus aku lakukan, aku mengerti, pesantrenlah yang lebih bunda cintai, dan memang aku baru sadar, di pesantren lah tempat yang sempurna untuk mengasah hidupku, dan aku ada dipilih oleh allah untuk lebih dekat kepadaNya.

                Tanpa komando ku gelar sejadah ku dan dengan air wudhu yang masih basah di wajahku ku dekatkan diriku pada sang maha pencipta, allah swt. Tepat pada sujud terakhirku baru kali ini aku merasakan kenikmatan dan apa arti menjiwai sebuah cinta dalam beribadah pada sang rabb, cukup ku sandarkan seluruh masalahku dan disitulah ku temui cinta sang rabb yang begitu luas.

###

                Pagi ini ku datangi bunda dan....

“bunda, radit sayang bunda... bunda... radit mau balik ke pesantren”. Ucapku memeluk bunda. Bunda membalas pelukku dengan erat dan mencium ubun-ubun ku

“hmmm... yang semangat ya...”

###

                Hari demi hari, tahun demi tahun, entah rasanya aku begitu haus dengan ilmu tidak seperti sebelumnya, ditiap detik datang rasa malas pasti dan akan selalu tergambar dalam benakku, setetes air mata yang keluar yang berhasil mensmackdown egoku. Bahkan berhasil mem-fatality... bodohnya pikiranku.

                Hari ini adalah hari yang paling ku tunggu dari jutaan hari dalam hidupku. Kulihat kursi-kursi yang tersedia sudah terpenuhi para keluarga kecuali kursi dengan namaku, senyum penuh sejuta rasa perih menyembul dalam wajahku, hari ini memang hari yang sangat membahagiakan sekaligus hari yang berhasil menggali pilu yang tengah ku timbun, hari ini berhasil menyeruak luka yang baru saja mengering.

                Hari ini hari kelulusan ku, hari yang bunda tunggu, tapi tak dapat bunda hadiri, lantaran.... lantaran.... semoga bunda dapat melihat ku disana. Iya bunda tiada seminggu sebelum hari kelulusan ku, dan hari ini aku hanya melihat teman-teman ku dengan keluarga mereka.

                Aku menangis sejadi-jadinya dan ku coba mendatangi rumah abi, kyai ku, kami memanggil beliau dengan panggilan abi. Abi melihatku berdiri di depan rumahnya.

                “ada apa radit?” aku terdiam dan hanya mencoba mengelap tangisku.

                “kamu masih sedih dengan bundamu? sudah... dengarkan abi pasti bundamu bangga padamu... mulai sekarang... kamu tinggal saja disini” pernyataan abi membuatku terdiam.

                “tapi bi adik radit gimana?...”

                “bawa saja kesini dan tinggal bersama... hmmm mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi abi ingin menikahkan mu dengan anak abi... aisyah...”

 

 

The end. JJJ

 

 

Komentar

Postingan Populer